Monday, February 15, 2021

Tips Mencari Rumah Sakit atau Tenaga Kesehatan (Nakes) yang Pro ASI

Kemarin pas ultah Arema, ponakanku lahir. Mendengar cerita adik iparku tentang betapa pro ASI nya RS Puri Bunda, aku seneng banget. Yah, secara udah lama aku nggak gitu perhatian lagi masalah perASIan gitu loh. Ini benar-benar kabar gembira buat ibu hamil. (Hooiii, ini lho RS pro ASI). Dengan gencarnya kampanye menyusui (lucu ya, manusia adalah satu-satunya spesies di mana menyusui spesiesnya sendiri pun perlu promosi), kupikir semakin ke sini, kondisi di lapangan bakal semakin membaik. Ternyata nggak juga. Beberapa hari kemudian, salah seorang temenku melahirkan di bidan, dan jeng jengg, dikasihlah sufor karena dibilang ASI nya belum keluar.. *hikhik*
Berbekal sedikit pengalaman berjuang dengan darah dan air mata (tsahhh) mengusahakan ASI eksklusif buat Aidan, aku jadi pingin sharing gimana cara mendeteksi RS/nakes pro ASI atau tidak, sejak saat periksa kehamilan.


One, two, three.. Here we go..

1. Tanya kepada ibu-ibu yang habis melahirkan di situ. Bagaimana perlakuan nakes terhadap mereka dan bayinya pasca melahirkan. IMD? Rawat gabung? Apa ada di antara mereka yang ASI nya belum keluar di hari pertama? Kalau ada, gimana penanganannya?
Itu cara paling mudah untuk mengambil kesimpulan apakah nakes/RS pro ASI atau tidak. Butuh sedikit effort dan sedikit muka tembok memang, karena kita bakal nanya-nanya orang yang nggak kenal, yang mungkin masih kesakitan, kecapekan, dan kemungkinan memandang kita sebagai orang asing yang patut dicurigai bakal nyuri bayinya. Tipsnya: bilang terus terang kalau lagi hamil (untuk yang perut udah gede sih lebih mudah kali ya?) dan sedang mengumpulkan informasi. Believe me, bumil lebih dipercaya (dan dikasihani) orang ketimbang bugamil (aka ibu nggak hamil). Kalau ada kenalan yang habis melahirkan di situ sih enak, gampang aja nanya-nanya. Tapi kita butuh sample penelitian yang agak banyak ya, dengan kasus yang beda-beda kalau bisa. Jadi lebih gampang mengambil kesimpulan.

2. Perhatikan sekitar. Ada tanda-tanda kemasan sufor? Botol susu? Meskipun nakes bilang kalau pro ASI, tapi kalau ada benda-benda itu di sana, patut dipertanyakan dong ya? Boleh-boleh aja positive thinking (buat ASIP (ASI perah) kali?), tapi berhubung sedang penyelidikan, maka azas yang dikedepankan harus azas waspada dulu.

3. Nanya langsung ke nakesnya. Nah ini pun ada caranya. Kalau sekedar nanya 'di sini pro ASI?' Sudah jelas semuanya bakal menjawab: iyaaa. Padahal tolok ukur pro ASI kita dengan mereka bisa jadi berbeda. Jadi nanyanya pun harus pake cara.

Yang perlu ditanyakan:

1) Apakah semua bayi yang lahir langsung IMD?
- Kalau jawabnya 'tergantung permintaan', maka pertimbangkan lagi. Kalau IMD bukan prosedur wajib di situ, bisa jadi IMD nya bakal nggak sesuai IMD yang seharusnya. Mungkin cuma nempel bentar di dada ibunya, atau bahkan nakesnya yang langsung masukin mulut bayi ke puting ibunya. Usahakan cari RS/nakes yang IMDnya sudah jadi SOP.
- Kalau jawabnya 'iya IMD', tanyakan aja prosedur IMD nya gimana? Berapa lama di dada ibunya? Diintervensi nggak sama nakesnya?
Buat yang belum tahu IMD yang benar gimana, bisa dibaca di sini. Kalau perlu, print halamannya dan bawa saat periksa, lalu tanyakan, apa prosedurnya nanti seperti itu? Atau ada perbedaan? Kalau ada, di bagian mananya? Kalau perbedaannya nggak terlalu prinsipil, ya udah woles aja.
- Kalau jawabnya 'tergantung dokter anaknya', maka temui dokter yang dimaksud dan tanyakan hal-hal pokok yang kita bahas di sini. Oya, kalau persalinan dibantu dokter kandungan (DSOG), maka sejak hamil harus sudah konsultasi dengan dokter spesialis anak (DSA) juga ya, karena urusan bayi adalah urusan DSA, bukan urusan DSOG. Kalau sejak hamil nggak minta DSA tertentu, maka pada saat kita melahirkan, pihak RS akan menyediakan DSA yang bertugas hari itu. Iya kalau kita merasa cocok dengan DSA nya, kalau enggak kan repot. Mending sejak hamil memutuskan pakai DSA siapa, daripada nggerundel di belakang kan?

2) Bayi dirawat gabung dengan ibunya atau di ruangan bayi tersendiri?

Kalau di bidan, pada umumnya bayi selalu berada dekat ibunya. Tetapi nggak semua bidan telaten ya, kadang ada juga yang urusan mengganti popok diserahkan ke pihak keluarga. Untuk urusan ASI, walaupun rawat gabung, ada bidan yang nggak tahan mendengar bayi rewel, jadi jika ASI yang keluar sedikit (dan hari pertama sudah pasti ASI yang keluar memang sedikit), maka bidan akan memberi sufor dengan dalih untuk menenangkan bayi. INI TITIK YANG SANGAT KRITIS bagi kita yang mau memperjuangkan ASI eksklusif, karena dengan kondisi badan yang extremely exhausted, kebanyakan kita akan nurut aja apa kata bidan. Dan suami pun biasanya ho oh aja kalau istrinya sudah mengiyakan karena mayoritas suami memang nggak terlalu paham urusan ASI. Berbahagialah anda yang suaminya bersedia belajar tentang ASI, bahkan ikut kelas edukASI AIMI di saat kehamilan anda. YANG PERLU ANDA PEGANG ERAT-ERAT (tegaskan juga ke suami sejak anda hamil) adalah prinsip bahwa lambung bayi baru lahir hanyalah sebesar kelereng dan ASI beberapa tetes (kira-kira 1 sendok teh - tau sendok teh kan? Itu kira-kira cuma 5 ml) sudah cukup buatnya setiap kali menyusu. Selama ini banyak orang terkecoh dengan jumlah ASI yang sedikit, dianggap kurang buat bayi, sehingga mengijinkan nakes memberi sufor, padahal memang segitulah kebutuhan bayi (apalagi melihat sufor yang diberikan hanya 30 ml, kita menganggap itu SEDIKIT, padahal buat bayi yang lambungnya kecil, 30 ml itu TERLALU BANYAK).
Ini prinsip yang harus anda pegang erat-erat sehingga nggak mudah menyerah pada kalimat 'ASI nya kurang' meskipun dalam kondisi sangat lelah. Sebetulnya, suamilah yang pegang peranan di sini, harus tegas di saat istrinya sik gak beg, nggak punya cukup tenaga dan pikiran untuk berpikir jernih.
Di RS, mungkin anda akan menemui RS pro ASI yang tidak melakukan rawat gabung untuk alasan keamanan. Sepanjang SOP mereka tegas untuk tidak memberi sufor tanpa persetujuan ortu dan selalu memberikan bayi kepada ibunya setiap kali bayi butuh menyusu, maka kondisi ini masih bisa ditolerir.

3) Bagaimana nakes/RS mendeteksi kesulitan menyusui dan apa tindakan yang akan diambil jika hal itu terjadi?
Ini poin yang krusial ya, moms, karena nggak semua nakes mengenali masalah menyusui dan bersedia meminta bantuan ketika ia nggak bisa mengatasi masalah tersebut. Ujung-ujungnya suforlah yang jadi andalannya.


Ketika mengajukan pertanyaan, posisikan diri kita sebagai orang yang kurang begitu memahami masalah menyusui (walaupun anda susah lulus kelas berjenjang edukASI AIMI) dan bertanyalah seperti orang yang tidak paham. Mengapa? Ilmu nakes baru akan keluar kalau kita bersikap demikian dan bukan sebaliknya, bersikap sok tahu apalagi sampai menghakimi. Kita butuh info yang jujur dari pihak nakes demi mengambil kesimpulan apakah mereka cukup memahami masalah menyusui dan bisa mengambil tindakan untuk mengatasinya.

Contoh:

*Untuk menggali pemahaman mereka tentang tongue tie, gunakan orang ketiga, misalnya: Teman saya cerita, kata dokternya, bayinya tongue tie. Apa itu dok/bubid? Gimana cara mendeteksinya? Gimana mengatasinya?

*Kata orang menyusui itu nggak sakit, tapi kok ada teman saya yang menyusuinya sakit, itu kenapa ya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah.

Ini penting banget ya, karena pengalamanku sendiri, nggak semua dokter anak memahami masalah menyusui. Aidan dulu berat badannya naiknya nggak signifikan. Aku bawa ke dokter anak, berganti-ganti sampai 6 DSA di Malang, tak satupun yang bisa mendiagnosa dengan tepat apa masalahnya. Ada yang meresepkan serbuk (aku lupa apa namanya) untuk dicampur di ASI, ada yang kasih sufor cair karena mengira ada masalah di penyerapannya. Waktu itu sebenarnya aku disokong donor ASI, tetapi sebagian besar tetap Aidan menyusu langsung padaku. Dan hasilnya, tetap saja berat badannya tidak naik banyak. Bayangkan betapa bingungnya aku! Akhirnya teman-teman di grup menyarankan untuk membawa Aidan ke dr. Astri (ketua AIMI Jatim) di Sidoarjo. Dari situ baru ketahuan kalau Aidan tongue tie dan harus diinsisi di RSUD Sidoarjo dengan dr. Rizal SpA. Setelah itu, barulah BB Aidan naik secara signifikan.

Nggak ingin galau seperti aku kan? Jika setelah 'interview' sekiranya anda menyimpulkan nakes tersebut kurang menguasai masalah menyusui (padahal anda ingin melahirkan di situ), carilah Konselor Laktasi (KL) dan pastikan beliau mendapat ijin untuk mendampingi saat anda melahirkan. Kalau di Malang, DSA yang KL adalah dr. Brigitta. Ada juga dokter lain, tapi aku nggak seberapa hapal. Ada baiknya anda bergabung dengan grup FB AIMI supaya mudah mengakses informasi tentang KL di tiap kota.

4) Bagaimana kebijakan RS tentang susu formula?

Biasanya jawabannya adalah: sufor hanya diberikan jika dibutuhkan. Nah ini yang harus kita kejar. 'Dibutuhkan' itu kondisinya seperti apa?
Di bagian ini, jika RS atau nakes nampak nggak pro ASI, anda sudah boleh bersikap 'sok tahu'. Kalau ingin menyebutkan aturan-aturan, Permenkes atau UU yang lain, silakan. Kita perlu menunjukkan ke RS/nakes kalau bumil jaman sekarang sudah aware masalah ini dan jika RS tersebut nggak pro ASI, ini adalah sebuah bentuk tekanan supaya RS tersebut mau berubah. Tunjukkan kalau mereka akan beresiko kehilangan pasien jika masih bertahan dengan caranya.


Itu hal-hal pokok yang perlu diketahui -yang bisa jadi bakal panjang banget dalam prakteknya- jika kita mencari RS/nakes pro ASI. Jangan sungkan-sungkan bertanya banyak-banyak. Demi masa depan anak kita nih. Silakan diprint dan dibawa saat shopping nakes/RS jika kuatir lupa apa aja isinya. Semoga membantu yaaa..

Happy shopping, moms-to-be! Semoga bisa menemukan RS/nakes terbaik yang mendukung pilihan anda. *pelukpeluk*

Catatan tambahan:
Mungkin ada beberapa orang yang merasa saranku di sini terlalu 'keras', sementara bumil kan pinginnya woles aja. Sebenernya prakteknya woles banget kok. Asal kita nanyanya hepi, kecil kemungkinan orang merasa dihakimi.
Percayalah moms, lebih baik tegas saat kita shopping daripada kelimpungan setelah melahirkan. ASI eksklusif itu berat, sodara! Berat banget. Banyak yang berdarah-darah dan bersimbah air mata dalam proses memberi ASI.
Kalau ada yang nggak bermasalah dengan memberi ASI sehingga nggak butuh ilmu menyusui, itu prosentasenya kecil. Kecil pake banget. Jadi kalau sudah memutuskan untuk ASIX, maka berdayakan dirimu sejak hamil. Belajar, cari, tanya. Jangan segan.

#edukASI

Kuliner: Zuppa Soup RM HD Wijaya Malang

Here we go.

Akhirnya tiba juga saat order lagi zuppa soup-nya RM HD Wijaya: Hot Zuppa.

Ini ketiga kalinya aku order.
Yang pertama dulu supnya kemanisan. Anak-anak nggak doyan. Cuma dimakan pastry-nya aja. Padahal order 5 cup. Emaknya cuma kuat makan 3 cup. Terpaksa buang sisanya. Habisnya eneg. Mubazir banget dah.

Akhirnya aku kontak ownernya, bilang kalo supnya kemanisan. Si owner bilang makasih dan berusaha memperbaiki.

Lama setelah itu, dengan kondisi kepepet, kelaparan dan bingung mau DO apa, teringatlah aku sama si Hot Zuppa ini. Awalnya ragu mau order lagi, takut supnya masih kemanisan dan mubazir lagi. Tapi berhubung kepepet, akhirnya order deh.


Jreng jreng!


Begitu datang, langsung ludes nggak sampe setengah jam!


Ternyata beneran diperbaiki, supnya pas. Anak-anak suka. Alhamdulillah.


Order ketiga udah gak pake mikir deh. Order 8 cup dapat bonus 1 cup. Jadi 9 cup dimakan 7 orang. Langsung ludes juga. Mbak Iffah nambah 1 cup. 1 cup dimakan Aidan, Fatih sama emaknya.
Aidan makan sendiri lho. Habis juga.


Aidan sibuk: Kanan pastry, kiri nyendok sup =))



Cuma kali ini pastry-nya yang agak manis. Aku BBM lagi ke ownernya. Katanya mungkin takaran gulanya.
Okelah, yang penting anak-anak suka.


Porsinya pas banget. 1 cup cukup bikin kenyang. Jagung, suwiran ayam dan potongan jamurnya lumayan. Pastry-nya juga tebel. Ada taburan wijen diatasnya. Rasanya mooyy-lah.


Jadi terpikir, zuppa si Madam Wang apa mungkin disetting supaya kita nggak kenyang jadi masih muat makan menu lain ya? Sementara punya si RM HD Wijaya disetting supaya kenyang dengan 1 cup.
Yah, mungkin aja sih. Semua bisa terjadi dalam cinta dan perang.
*halah*


Oya zuppa punya RM HD Wijaya ini cuma 10 rebu per cup, kalo DO minimal 5 cup. Gratis 1 cup selama Oktober. Mooyy-kan?


Kalo mau datang ke outletnya, ada di Perempatan Sentani Raya Sawojajar. Aku sendiri belum pernah ke sana sih. Selalu minta DO. Jauh bokk. Ongkir ke Dinoyo 12 rebu. Mehong sih. Tapi berhubung laper ya hooh aja, daripada habis waktu di jalan. Bensin juga.
Kalo mau DO, bisa kontak 081393227071. Itu WA juga.



Ini nih penampakannya:





Buat yang kepingin, langsung kontak aja...

Mencoba Terapi Bioresonansi untuk Fatih

Alergi.

Hal yang mungkin dianggap sepele bagi sebagian orang tapi lumayan berat kalau gejalanya bisa mengancam nyawamu. Sekian lama menderita alergi, aku mencoba sebuah terapi yang bernama Terapi Bioresonansi, hasil gugling dan baca di sini.




Ini ketiga kalinya aku terapi lagi. Setelah hampir sebulan. Padahal harusnya terapi seminggu sekali.Ya, sudahlah, selama sebulan ini memang ada aja yang terjadi. Anak-anak sakit gantian. Aku sendiri tepar dan opname seminggu karena tipus. Ini juga masih pemulihan. Harus diantar kalo ke RS. Belum kuat nyetir sendiri.

Kali ini aku ajak Fatih karena udah sebulan dia batuk nggak sembuh-sembuh. Udah 4 botol antibiotik masuk. 2x Cefadroxil dan 2x Cefixime beserta obat pengiringnya. Menurut hasil rontgen sih kena bronchopneumoni. Tapi udah selama itu diobati, belum sembuh juga, aku curiga kalo dia alergi. Kata DSA (dr. Khusnul, SpA) sih dadanya emang penuh dahak. Kalo emang itu karena bakteri, harusnya ada perkembangan. Tapi ini kok enggak. Masih ngikil juga batuknya. Masih muntah juga. Dahaknya masih banyak juga. Dr. Khusnul sebenarnya juga bilang kalo kemungkinan memang ada alergi. Beliau menyebutkan beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari dulu. Yah, ini sih harus di tes dulu apa yang benar-benar jadi alergen Fatih.

Setelah bolak-balik dua kali (karena antri dan melewati waktu sholat jum'at), akhirnya sore tadi Fatih tes alergi trus terapi. Beberapa jenis makanan yang diminta dr Khusnul untuk dihindari memang masuk daftar yang Fatih memang alergi, seperti telur, beberapa jenis seafood dan buah-buahan. Oke deh, sementara dihindari dulu supaya batuknya nggak semakin parah.

Aku sempat ngobrol juga dengan dr. Satra tentang Fatih yang harus bolak-balik ke DSA. Kata dr. Satra sih, batuk disebabkan alergi dan disebabkan infeksi biasanya beda. Salah satu perbedaannya, biasanya kalo karena alergi itu suhu badan nggak tinggi.

Oke deh, habis di tes, Fatih langsung terapi. Sayangnya dia nggak mau tiduran, jadi aku pegangi lempengan yang harus nempel ke punggungnya, sementara dia genggam bola dan tabung seperti saat pertama aku terapi. Kata dr. Satra, itu terapi dasar. Pas waktunya lempengan masuk dada, aku harus pegangi dua-duanya, lempengan di dada dan di punggung. Oalah Fatih, Fatih...

Setelah dia terapi, ganti aku. Aku bilang ke dr. Satra kalo asmaku udah nggak kambuh lagi, jadi kali ini terapinya difokuskan ke sinusku (yang pake semacam penutup mata yang sampai ke pipi depan di samping hidung) dan ke ginjal.

Kita lihat lagi selanjutnya, gimana hasilnya.

Menyusui itu Mudah? Jangan Percaya!

Beneran deh, jaman sekarang itu kayaknya segala hal yang alami, banyak banget tantangannya. Bahkan untuk hal sekodrati melahirkan dan menyusui pun, begitu banyak intervensi.







Dulu, waktu hamil anak pertama, tak sedikit pun terbersit dalam pikiranku buat kasih susu formula (sufor) ke bayiku. Teman-temanku yang sudah punya anak, bisa dibilang semua sukses menyusui, jadi aku berpikir, aku juga pastilah bisa menyusui. Bukankah menyusui itu insting alami yang dimiliki semua ibu?

Jadi aku pede aja waktu itu kalo bakal menyusui dengan lancar. Bahkan rayuan-rayuan dari sales sufor yang menawarkan produknya dengan muka tembok, aku tolak mentah-mentah. (Aku bilang dengan muka tembok karena belakangan aku baru tahu kalau apa yang mereka lakukan ternyata melanggar peraturan pemerintah).

Anak pertamaku lahir tahun 2003, dimana waktu itu IMD (Inisiasi Menyusu Dini) belum familiar. Setelah lahir, aku cuma ketemu bayiku sebentar aja, lalu bidan membawanya ke ruang bayi. Selanjutnya bayi dibawa ke kamarku beberapa kali untuk belajar menyusu. Sepertinya susah sekali mulut bayi yang kecil itu untuk menyusu. Aku yang memang nggak belajar apapun tentang menyusui (berbekal keyakinan bahwa menyusui itu insting), mulai merasa putus asa. Kenapa menyusui sulit sekali? Sekalinya dia berhasil menghisap, ternyata sakitnya luar biasa.

Can you imagine that?

Proses melahirkan yang begitu menguras energi, nyeri jahitan yang belum pulih, putus asa karena sulit menyusui, sekalinya bisa eh ternyata sakit.

Waktu aku nanya ke bidan kenapa sakit, jawabannya kurang memuaskan. Bahkan ketika sudah pulang dan aku masih belum berhasil mengatasi masalah menyusuiku, tahukah apa jawaban bidan saat aku telpon minta saran? "Masa kalah sama bayi?"

Gedubrak!!

Waktu itu cuma bisa nangis. Rasanya mending ditelan bumi deh. Nggak heran aku kemudian kena post partum depression yang sangat lama.

Merasa gagal sebagai ibu.

Dan aku nggak tahu dimana masalahnya.

Aku melahirkan normal dibantu bidan di sebuah RS swasta di Malang. Waktu itu aku sama sekali nggak paham kenapa bisa gagal total. Bertahun-tahun kemudian baru aku tahu kalau menyusui pun perlu belajar sejak mengandung. Ilmunya banyak. Dan karena jaman sekarang begitu banyak intervensi, selain berbekal ilmu, kau harus kuat mental menghadapi lingkunganmu.

Sejak hamil bahkan.

Walaupun sudah ada peraturan pemerintah mengenai wajibnya IMD, tapi kenyataannya banyak RS yang nggak menerapkan, atau menerapkan tapi asal-asalan. Lalu ada indikasi sedikit aja, masuk deh sufor ke perut bayi. Karena 'indikasi medis' tentu. Herannya, kenapa sebagian besar ada 'indikasi medis' ya?

Dan rooming in? Kalau masuk kelas 2 atau 3, jangan mimpi dapat rooming in deh. Tanya aja ke pihak RS, mereka punya banyak jawaban untuk nggak me-rooming in-kan ibu dan bayi, apalagi di kelas 2 dan 3. Tentu saja 'demi kesehatan'.

Kapan hari itu aku menjenguk seorang teman yang habis operasi kista. Kebetulan dia seruangan dengan seorang ibu yang baru operasi caesar. Di dekatnya, bayinya tidur di boks bayi dengan botol dot di mulutnya. Kondisi ibunya baik-baik saja. 'Cuma' habis operasi caesar.

Itu botol bahkan lebih besar dari kepala si bayi! Aku sempat ambil foto, tapi cuma untuk aku kirimkan via WA ke dokternya yang kebetulan juga dokterku. Aku nggak bisa upload disini karena nggak ijin ibunya.

Ternyata, dokternya nggak tahu menahu kalau bayi pasiennya dikasih sufor! Nah lho, gimana bisa dokter sama RS nggak sejalan? Setelah ngobrol-ngobrol sedikit dengan si ibu, aku kasih sedikit info tentang grup FB AIMI, berharap supaya si ibu mau belajar tentang ASI. Tapi entah apa yang terjadi selanjutnya, aku pasrah aja, karena aku nggak menangkap respon baik dari si ibu ketika aku berusaha ngajak ngobrol tentang ASI. Akhirnya aku balik ke bilik temanku di sebelahnya (terhalang sekat) dan berusaha sekuat tenaga menahan airmata yang mengembang di pelupuk.

Bayi itu bukan anakku, tapi sedih sekali melihatnya 'disiksa' seperti itu. Lambungnya cuma sebesar kelereng! Kelereng sodara-sodara! ASI satu sendok teh pun sudah cukup buatnya! Sadarkah mereka telah menyakiti usus si bayi? Bahkan mungkin menyakiti hatinya juga. Beneran dah rasanya pingin cabut itu botol dari mulut si bayi dan membuangnya jauh-jauh, lalu teriak di muka si ibu: Susui anakmu, Bunda! Susui anakmu!

Tapi siapalah diriku. Cuma orang asing yang kebetulan lewat..

Orang asing yang berharap semua bayi mendapat haknya.

Orang asing yang berkali-kali gagal menyusui dan nggak tahu sebabnya kenapa.

Orang asing yang baru paham ASI ketika mengandung anak keempat.

Ya, dari 4 anakku, cuma yang keempat yang sukses ASI sampe dua tahun lebih. Anakku yang ke 4 ini bahkan nggak tahu gimana cara menggunakan dot.

Sukses yang bisa diperoleh karena kombinasi nakes yang mendukung ASI dan ibu bandel yang keras kepala. Yang mau belajar dari ketidaktahuan dan menyusun mental baja sejak saat mengandung. Yang mau menutup telinga akan apapun apa kata orang yang tampaknya bermaksud baik tapi sejatinya menjerumuskan.

Menyusui itu mudah?

Mungkin suatu saat.

1. Jika semua nakes dan RS mau sabar melakukan IMD dan rooming in.

2. Jika orang-orang nggak sibuk menyuruh-nyuruh ibu menyusui untuk memberi sufor bayinya.

3. Jika sales-sales sufor berhenti mengakses ibu hamil dan menyusui.

4. Jika ibu hamil mau belajar tentang menyusui dan bertekad memberikan ASI.

Jika poin 1 sampai 3 masih sulit, poin 4 saja bisa asalkan ditambah mental baja berlapis-lapis plus keras kepala. Oya! Untuk hal ini, peliharalah keras kepalamu wahai ibu-ibu! Demi anakmu!

Menyusui itu mudah? Jangan percaya (begitu saja)!

Belajarlah! Belajarlah! Belajarlah!


(Ditulis 28 Maret 2014)

Hamil? Melahirkan? Ngeri!

Hamil dan melahirkan.

Dua hal yang bisa dilakukan hanya oleh perempuan.







Sebelum ini, kalau ada yang bertanya tentang apa yang aku rasakan saat hamil, aku cuma menjawab satu kata: berat.

Sedangkan pertanyaan tentang kesan melahirkan, jawabanku cuma: antara hidup dan mati.

Dari situ saja sudah bisa terbaca kan, apa yang ada di dalam otakku tentang dua hal tersebut?

Orang cuma melihat aku punya anak empat, dan sekarang hamil anak kelima. Nggak banyak yang peduli apa yang aku rasakan -atau dirasakan oleh banyak ibu lain-, terutama saat hamil dan melahirkan.

Empat anakku lahir dengan proses 'normal'. Normal disini maksudnya sesuai dengan standar medis ya, vaginal birth, bukan sectio caesaria. Dua anak pertama diinduksi. Dua anak terakhir tanpa induksi. Kontraksi sakit luar biasa, terutama setelah bukaan tiga. Mengejan sepenuh tenaga, robek lebar, keempatnya jahit obras.

Normal kan?

Tapi sejak pertama kali melahirkan sampai yang keempat, aku tak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yg normal. Kehamilan selalu aku rasakan sebagai sesuatu yang berat dan capek. Melahirkan adalah saat meregang nyawa. Dua hal itu selalu menyisakan traumatik berat dalam diriku.

Pasca kelahiran anak pertama, aku bahkan kena post partum depression, yang baru aku sadari jauh setelahnya, diikuti usaha memulihkan diri sendiri yang nggak mudah.

Waktu hamil anak ketiga, aku mengenal hypnobirthing dan berusaha menerapkannya. Tapi sepertinya kesan negatif tentang hamil dan melahirkan yang sebelumnya sudah terlanjur tertanam kuat di bawah sadarku, sehingga afirmasi yang berusaha aku tanamkan nggak terlalu berbuah baik. Tetap sakit luar biasa saat kontraksi, mengejan sepenuh tenaga, (lagi-lagi) robek dan jahitan obras.

Karena itu, selepas melahirkan anak ketiga, kesanku tentang hamil dan melahirkan tetap nggak berubah, serta masih berlanjut sampai hamil-melahirkan anak keempat.

Saat hamil anak kelima, sempat 'ketenggengen' pada awalnya (apa bahasa Indonesianya ya?). But it's okay, aku akan jalani. Secara psikologis, memang lebih berat. Aku lebih sensitif, lebih sering nangis. Sepertinya hormon kortisol (hormon sedih) jadi banyak diproduksi. Padahal saat hamil, yang dibutuhkan adalah hormon oksitosin (hormon cinta).

Hal-hal menyakitkan mulai terbayang-bayang lagi. Kontraksi yang sakit. Mengejan sepenuh tenaga. Sobek lebar. Jahitan. Sampai-sampai aku berencana mengambil ILA (persalinan normal dengan anestesi) agar nggak terasa sakitnya kontraksi. Tapi Dr Prita bilang, ILA membuat ibu nggak merasa pingin ngejan, bahkan kadang bayinya juga kena efek anestesi, jadi lemes, dan akhirnya bayi harus divacum. Hadeh, tambah takutlah. Aku juga mempertimbangkan untuk operasi saja. Anak terakhir. Sekalian MOW. Rasanya sudah capek bersakit-sakit. Tapi dokter menyarankan normal saja. MOW bisa besoknya. Gimanapun, nggak ada apapun yang mengindikasikan aku harus operasi. Cuma nggak pingin sakit lagi.

Untungnya, bagiku kehamilan ini adalah yang paling istimewa. Perasaan spesial ini yang menopangku untuk bertahan, yang tampaknya merangsang produksi hormon oksitosin yang membantuku merasa bahagia dan bersyukur. Setidaknya, ini cukup untuk mengimbangi saat-saat kortisol muncul.

Suatu hari, aku terdampar di grup FB Gentle Birth untuk Semua. Dan dimulailah pencarianku tentang gentle birth. Baca dan nonton youtube. Sampai akhirnya aku mendapatkan apa yang aku cari: kehamilan dan persalinan yang ramah fisik dan ramah jiwa. Kembali ke alam. Bagaimana alamiahnya proses persalinan. Bahwa persalinan sebenarnya adalah proses alami yang seharusnya minim intervensi medis. Bahkan mengejanpun nggak diperlukan. Dan kebanyakan operasi caesar sebenarnya nggak perlu dilakukan.

Rasanya jadi kembali punya harapan.

Lalu bertemulah aku dengan Mbak Nurul Aini (FB: bidanku), praktisi gentle birth di Malang, yang sudah terakreditasi melakukan water birth, dan mendukung lotusbirth juga (setahuku belum ada RS di Malang yang melakukan lotus birth. RS Mardi Waluyo, satu-satunya RS yang ada fasilitas water birth, juga belum mempraktekkan lotus birth). Rasanya seperti merasakan hujan setelah kemarau bertahun-tahun.

Okelah, aku putuskan untuk full gentle birth (water birth+lotus birth) di tempat Mbak Nurul saja. Termasuk ikut prenatal yoganya.

Tugasku sekarang adalah afirmasi, menyembuhkan trauma melahirkan yang menumpuk sebelumnya. Untuk yang satu ini, aku mau berguru langsung ke Mas Reza Gunawan (suami Mbak Dewi Lestari) aja di Jakarta sana. Mumpung masih ada waktu.

Oya, dari Mbak Nurul, aku dapat fotokopian buku-buku Ibu Robin Lim, bidan praktisi gentle birth di Bali yang barusan dapat penghargaan CNN Heroes.

ibu hamil www.tikacerita.com



ibu hamil www.tikacerita.com


Ini buku-bukunya (Ibu Alami, Anak Alami dan ASI Eksklusif Dong). Buat yang kepingin dapat, bisa kontak aku, cuma ganti ongkos fotokopi sama ongkir aja. Buku-bukunya bagus banget. Bahkan yang belum hamilpun perlu baca. Yang lagi hamil, wajib deh kayaknya.

Dan buat yang perlu referensi biaya water birth di Malang, ini biaya di RS Mardi Waluyo tahun 2014 (sori sedikit kucel :-D):

water birth rs mardi waluyo malang www.tikacerita.com


Kalo dengan Mbak Nurul, tergantung tempat: home birth sekitar 2 juta, sedangkan di Polindes Dadaprejo tempat Mbak Nurul praktek, biayanya cuma separuhnya.

Murah kan?

Oya selain Mbak Nurul, ada dua bidan lain yang juga praktisi gentle birth di Malang, satu di Batu, satu di Plaosan (Bidan Rina).

Gentle birth selalu sepaket sama IMD ya, jadi bener-bener ajak kita balik ke semua kealamian proses ini: mengandung, melahirkan dan menyusui.

Buat yang nggak mau punya anak cuma karena biayanya mahal, think twice deh.. Kembalilah ke alam dan lupakan susu formula (ah jadi inget kemarin habis ke Bouchi dan ngeliat gunungan susu formula. Begitu besarnya pasar sufor. Pingin nangis liatnya. Mungkin kali lain bakal nulis khusus soal ini).

So, let's back to nature. Let's do gentle birth!!

Oya Mbak Nurul bidan bisa dihubungi di ainfree@yahoo.com atau 082244536666 ya.

Yang minta fotokopi buku ibu Robin Lim bisa komen di bawah.

(Ditulis 24 Maret 2014)