Friday, January 27, 2006

Kiat Manghadapi Anak Temper Tantrum – Ujian Kesabaran Bagi Orang tua

Menghadapi anak 2-3 tahun memang benar-benar menguji kesabaran. Seorang pakar psikologi mengatakan bahwa di usia ini memang usia "semrawut" – melelahkan dan menghabiskan kesabaran. Ego anak sedang tinggi-tingginya. Bertemu teman sebaya seperti bertemu "teman berkelahi".
Iffah anak saya, yang Februari ini berusia 3 tahun, sempat benar-benar menguras habis kesabaran saya. Setelah terkena infeksi dan tidak masuk sekolah (playgroup) sekitar hampir 3 minggu, dia ‘mogok’ ke sekolah. Setelah dibujuk-bujuk oleh gurunya, akhirnya mau juga dia masuk. Tetapi apa yang terjadi? Bisa dibilang perang dunia mungkin. Lama tidak berinteraksi dengan teman-teman sebaya –karena di rumah hanya bermain dengan adiknya, saya dan khadimat yang lebih banyak mengalah- di sekolah dia ‘clash’ dengan teman-temannya. Alhamdullilah guru-gurunya memang sudah terlatih menghadapi situasi seperti itu dan begitu telaten mengajari anak untuk ‘berbagi’ sehingga amarahnya bisa diredam.
Tidak berhenti sampai disitu karena ternyata di rumah dia "mengamuk". Hal kecil saja yang tidak sesuai dengan keinginannya dia bisa menangis meraung-raung, bergulung-gulung dan memukuli siapa saja di dekatnya. Awalnya saya tidak paham apa yang sedang terjadi dengannya, saya hanya merasa tangisannya benar-benar membuat sakit telinga dan menjengkelkan sekali. Kalau dia sudah mulai berkelakuan seperti itu, biasanya saya tinggal dia sendirian dan mengerjakan pekerjaan yang lain. Kadang-kadang ketika emosi saya sudah memuncak, saya lebih memilih untuk berbaring dan memejamkan mata. Seperti sabda Rasulullah SAW bahwa jika kita ingin marah, kalau kita sedang berdiri maka duduklah, jika sedang duduk maka berbaringlah, itulah yang coba sedang saya lakukan. Pernah di tengah malam dia mengamuk seperti itu sampai tetangga ikut keluar rumah. Pernah juga dua kali saya begitu tidak tahan mendengar tangisannya sehingga saya tepuk mulutnya. Sekali dia diam tetapi kali berikutnya bertambah keras tangisnya (belakangan saya tahu tindakan ini sebaiknya dihindari...tidak baik untuk psikologi anak).
Akhirnya suatu hari saya baca di Jawa Pos tentang tingkah laku seperti ini yang ternyata disebut Temper Tantrum. Alhamdulilllah akhirnya dapat pencerahan juga. Sebenarnya materi ini pernah saya baca sebelumnya, tapi karena saya merasa anak saya tidak seperti itu jadi lewat begitu saja dari ingatan saya. Biasalah, kadang-kadang muncul pikiran "Ah, bukan urusanku" atau "bukan anakku". Padahal kalau sudah benar-benar mengalami baru kalang kabut. Sebenarnya walaupun anak kita tidak mengalami, ilmu yang diperoleh pasti juga bermanfaat entah untuk anak kita yang lain ataupun untuk orang tua yang lain.
Menghadapi anak temper tantrum ada kiat tersendiri. Yang pertama kita sendiri jangan sampai panik. Tetap tenang walaupun dia "kambuh" di mall, swalayan atau tempat umum lainnya. Kalau di tempat umum, peluk dia walaupun pasti berontak. Jangan terlalu keras memeluk asalkan dia berada dalam dekapan kita. Jika di rumah biarkan dia bergulung-gulung sesukanya tapi tetap harus kita awasi jangan sampai dia melukai dirinya sendiri. Jangan tinggalkan dia karena dia akan merasa tertolak. Temani sampai dia capek dan mereda. Yang terpenting seberapapun hebohnya dia bertingkah, jangan menuruti apa kemauannya karena dia akan menyimpulkan bahwa kalau dia bertingkah seperti itu kemauannya akan dituruti oleh orangtuanya. Setelah reda, beri pengertian.
Saya sendiri akhirnya mencoba cara tersebut. Ketika anak saya mulai tantrum, saya biarkan dia bergulung-gulung sesukanya. Ketika sudah mulai agak reda dan mau duduk, saya pandangi matanya dan mohon kepada Allah untuk memberinya ketenangan. Setelah benar-benar reda, saya peluk dan beri dia pengertian bahwa jika dia menginginkan sesuatu, cukup mengatakan dengan cara baik-baik dan tingkah seperti itu bukan tingkah laku yang baik. Setelah itu biasanya dia minta maaf. Alhamdulillah cara ini berhasil dan dia sudah tidak pernah temper tantrum lagi.
Memang tidak mudah menjadi orang tua, tetapi akan jauh lebih sulit jika kita menjalaninya tanpa ilmu. Biasanya yang terjadi adalah anak yang jadi korban. Tentunya kita tidak ingin menjadikan anak kita generasi yang lemah dan salah asuhan kan…
Semoga bermanfaat….