Monday, July 19, 2010

Karya Anas


 

Anas suka sekali menggambar, dan diatas adalah salah satu karyanya yang dibuat ketika umminya sedang fokus mengikuti training, sedang dia duduk dengan manis di kursinya. Dan lahirlah karya ini.  Perhatikan bagaimana detilnya dia membuat bulu-bulu burung dan tanduk-tanduk ankylosaurusnya...


(Dibuat 19 Juli 2010)

Sunday, July 11, 2010

MENGAPA KITA HARUS MEMPERJUANGKAN PALESTINA?

Hari ini, 10 Juli 2010, Malang kedatangan tamu istimewa, Bu Santi Soekanto dan suaminya, Pak Dzikrullah, relawan Freedom Flotilla. Sebenarnya saya berniat merekam dengan mp3 sehingga bisa upload disini dan teman-teman bisa mendengarkan secara langsung, tapi apa daya Allah berkehendak lain, mp3 gagal merekam. Jadi saya bikin summary aja, semoga masih banyak yang saya ingat.

Banyak diantara kita, masyarakat internasional umumnya dan kaum muslimin khususnya, yang belum mengetahui dan memahami mengapa banyak orang begitu getol membela Palestina. Ada orang yang menganggap, urusan Palestina adalah urusan dalam negerinya sendiri, ada juga yang mengira, urusan Palestina adalah gontok-gontokan, rebutan tanah antara Israel dengan Palestina, yang orang luar tidak perlu ikut campur. Dan lebih banyak lagi yang mengatakan, urusan dalam negeri kita masih banyak, tak perlu sibuk mengurusi negeri orang. Bahkan ada pula yang sendika dawuh dengan Amerika, mengatakan bahwa Israel hanya mempertahankan diri ketika menyerang Palestina.

Inilah yang sebenarnya terjadi:
Sebelum tahun 1946, tanah yang berada diantara Laut Merah, Syria, Mesir, Yordania, yang sekarang jika kita membuka altas dunia yang muncul adalah kata “Israel” adalah Palestina. Sebagian besar dihuni oleh bangsa Arab, mayoritas Muslim, kemudian Nasrani, dan hanya beberapa lokasi dihuni komunitas Yahudi. Pada tahun 1946, orang-orang Yahudi tersebut dipersenjatai (oleh siapa? You know who..) dan mulailah gerakan terorisme paling sadis sepanjang sejarah manusia. Mereka membantai orang-orang Palestina, menghancurkan wilayahnya. 500 desa habis, 1200 masjid rata dengan tanah. Tujuannya jelas, menghapuskan Palestina dari peta dunia. Saat itu hanya ada 3 pilihan bagi warga Palestina: mati, melarikan diri --terusir dari negerinya—atau hidup dibawah tekanan Israel. Pada tahun 1948, Israel diakui oleh Amerika, Inggris dan Perancis sebagai sebuah Negara, dengan letak persis diatas wilayah yang dulunya tertera Palestina. Wilayah Palestina hanya tinggal beberapa wilayah saja, seperti Tepi Barat dan Gaza. (Sebenarnya ada slide petanya, tapi saya belum memperolehnya. Semoga Allah memudahkan saya mendapatkan file tadi untuk di upload).

Tidak berhenti sampai disitu, penindasan Israel atas Palestina terus berlangsung sampai hari ini, dan entah sampai kapan. Wilayah-wilayah Palestina yang tinggal sedikit itu semuanya dibangun tembok di sekelilingnya oleh Israel setinggi 8-12 meter, menutup akses Palestina dari luar. Orang tidak bisa masuk dan keluar. Anda bisa membayangkan kota anda dikelilingi oleh tembok tinggi yang anda tidak bisa keluar masuk? Seperti itulah, Palestina adalah penjara terbesar di dunia. Dengan berbagai dalih, Israel memblokade Palestina dari bantuan luar, diamini oleh negara-negara yang merasa dirinya adalah penguasa dunia. Yang menyedihkan, Mesir, satu-satunya negara mayoritas muslim yang berbatasan langsung dengan Gaza, ikut mengamini blokade tersebut. Tapi tidak heran mengingat Mesir adalah Negara Arab penerima bantuan terbesar dari Amerika.

Selain sulit mendapat bantuan dari luar, sumber-sumber air juga tercemar (atau dicemari?) nitrat, yang kandungannya 8-10 kali lipat dari ambang batas, sehingga sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Bahkan jika digunakan untuk mencuci alat-alat pun, alat-alat tersebut akan rusak. Bisa anda bayangkan jika rumah sakit tidak bisa mensterilkan alat-alat medisnya? Itulah yang terjadi. Makanan sulit, rumah hancur, air tercemar. Jika air PDAM anda macet, bersyukurlah, nikmati saja. Palestina lebih parah dari itu.

Bukan hanya itu. Selain tembok tinggi yang dibangun Israel (yang menyedihkan lagi, kontraktornya berasal dari Negara-negara Arab), Israel juga menyebar tentara-tentaranya di banyak titik di Palestina. Warga Palestina tidak bisa dengan mudah bepergian kesana kemari di dalam negerinya sendiri tanpa diperiksa oleh tentara Israel. Ibu-ibu harus berjalan berkilo-kilo jauhnya untuk ke pasar, anak-anak ke sekolah pun demikian. Semuanya harus melewati beberapa pos pemeriksaan tentara Israel. Hampir setiap hari ada ibu-ibu yang melahirkan di pos pemeriksaan, karena tidak sempat sampai di rumah bersalin. Laki-laki Palestina bisa setiap saat ditangkap tanpa alasan apapun, dipenjara, diinterogasi dengan kejam, dan tak ada seorangpun orang yang tahu keberadaannya. Tentara Israel bisa membunuh warga Palestina dengan alasan sekecil apapun.

Masih kurang?
Pada saat serangan ke Gaza 2008-Januari 2009, menurut pengakuan seorang panglima Israel di televisi Israel, mereka telah melepaskan tidak kurang dari 1,5 juta kg bahan peledak ke Gaza. Jika penduduk Gaza 1,5 juta orang, maka satu kg bahan peledak disiapkan untuk satu jiwa. Seperempat kg saja sudah bisa membuat badan kita hancur, apalagi 1 kg?

Dan bom-bom itu tidak sembarangan. Bom ditembakkan ke udara oleh tank-tank, meledak di udara menjadi bom-bom kecil yang menyebar kemana-mana, yang masuk ke dalam kulit dan meledak di dalam. Sungguh sangat mengerikan. Paramedis di Palestina mengatakan, mereka belum pernah melihat luka-luka semengerikan itu.

Pada saat itu Israel menyerang Gaza melalui darat, laut dan udara. Mengapa Israel begitu ngotot menyerang Gaza? Karena di Gazalah, pasukan Israel berhasil dipukul mundur pasukan Mujahidin hingga keluar Gaza. Jika Israel tak membungkam Gaza, tak mustahil apa yang mereka kuatirkan akan terjadi: Semangat gerakan perlawanan meluas, dan Palestina mendapatkan wilayahnya kembali.

Israel juga memiliki bom nuklir. Menurut seorang ahli kimia Israel yang membuka informasi ini tahun 1980an, Israel memiliki lebih dari 200 bom nuklir yang 1 bomnya 10 kali lebih dahsyat daripada bom Hiroshima dan Nagasaki. Itu tahun 80an. Bagaimana sekarang? Berapa lagi bom nuklir mereka produksi? Dan tentu saja Amerika menutup mata. Mereka meributkan Iran yang baru akan membuat pembangkit listrik tenaga nuklir, mengancam Korea Utara dan Pakistan, tapi seolah-olah tak tahu simpanan nuklir Israel.

Dari kondisi seperti itu saja kita sudah punya seribu alasan kemanusiaan untuk membantu Palestina. Tapi bagi kaum muslimin, ada alasan yang lebih mendasar untuk melakukannya:

1.Masjidil Aqsha adalah kiblat pertama kaum muslimin. Sebelum Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat, Masjidil Aqsha-lah kiblat pertama.

2.Palestina adalah tanah suci kaum muslimin. Hampir semua nabi diturunkan di Palestina. Hal ini terbukti dengan banyaknya makam nabi-nabi di beberapa wilayah Palestina.

3.Palestina adalah tanah wakaf kaum muslimin. Abu Bakar Ash-Shidiq membebaskannya dari jajahan Romawi Bizantium, Sholahudin Al Ayubi membebaskannya dari tangan pasukan perang salib.
Tanah wakaf adalah tanah milik seluruh kaum muslimin. Semisal di suatu kampung ada tanah wakaf (yang biasanya dibangun masjid), maka artinya tanah itu adalah milik seluruh kaum muslimin. Begitupun Palestina. Palestina adalah milik kaum muslimin, bukan hanya milik warga Palestina saja.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya tuliskan, termasuk tentang kafilah Freedom Flotilla, apa yang terjadi dengan mereka (ada relawan yang berhasil menyembunyikan memory card dari handycamnya sebelum disita Israel, dan kejadiannya ternyata berbeda dengan apa yang dipublikasikan Israel di media), tapi mungkin lain kali InsyaAllah. Semoga summary ini bermanfaat.
Jika dari pemaparan diatas kita masih belum juga tergerak untuk membantu Palestina, mungkin ada yang salah dengan diri kita. Istighfar yang banyak ya…

Saturday, June 12, 2010

Klaim Israel: Senjata yang Ditemukan di Mavi Marmara




Sumber:http://idfspokesperson.com/2010/05/31/pictures-of-weapons-found-on-the-mavi-marmara-flotilla-ship-31-may-2010/

Pisau dapur? Jadi ini yang mereka blow up ke dunia bahwa "Mavi Marmara membawa senjata!", mengerahkan pasukan penuh, kapal perang dan menembaki relawan dengan membabi buta, menewaskan 9 relawan dan melukai yang lain? Karena nyari pisau dapur? *geregetan*

Thursday, June 10, 2010

Ditembak Israel di Mavi Marmara (Kisah Surya Fachrizal Wartawan Hidyatullah.com)

Cerita lengkap Surya Fachrizal, wartawan Majalah Hidayatullah, sebagaimana dituturkan kepada Dzikrullah, yang menuliskannya untuk Sahabatalaqsha.com dan Hidayatullah.com.


Sahabat Al-Aqsha & Hidayatullah.com–AMMAN– Subuh itu masih gelap, Senin, 31 Mei 2010, namun suasana kapal Mavi Marmara sungguh kalang-kabut dan mencekam. Helikopter komando Israel menderu-deru dengan angin yang sangat kencang. Granat suara berdentum di mana-mana. Gas air mata merebakkan asap. Senjata api otomatis berentetan mencari mangsa. Peluru-peluru berdenting menyiram dinding kapal. Kulihat seorang lelaki Turki berpelampung berusaha masuk ke pintu kabin dek 4. Jaraknya dari saya hanya sekitar 4 meter. Kami berada di teras kapal sebelah kiri.

Belum sampai ke pintu, tiba-tiba dia jatuh terlentang, lalu memukul-mukulkan tangan kanannya ke lantai kayu seperti menahan sakit yang amat sangat. Karena tak ada yang menolongnya saya langsung mendatanginya. Belum sempat saya menyentuhnya, mendadak seperti ada besi martil menghantam perut saya yang sebelah kanan. Sakitnya luar biasa. Saya langsung jatuh terjerembab dalam posisi berbaring dan menindih kamera pinjaman, Canon EOS 400D semi-pro dengan lensanya cukup besar dan panjang. Saya sempat menyingkirkan benda itu agar bisa berbaring lebih leluasa, karena tiba-tiba nafas menjadi sangat susah.

Terasa ada yang memapah saya masuk ke lobi kecil dekat ruang wartawan. Lalu saya dibaringkan, sesudah itu kesadaran saya timbul tenggelam. Rasanya dingin sekali. Beberapa orang menjepretkan kamera ke arah saya. Kulihat Yasin, jurukamera TVOne, mendekat sambil merekam tapi ia lalu seperti tak tega, dan berhenti merekam. Pelampungku dilepas. Karena melihat nafasku tersengal-sengal seseorang memasangkan masker oksigen. Lumayan lega, tapi rasa sakit di perut makin menghebat, nyeri sekali.

Tak lama kemudian saya digotong turun ke lobi dek 3 yang lebih luas di depan ruang informasi. Bau anyir darah sangat tajam menusuk. Ruangan itu sudah penuh sesak oleh korban yang bergelimpangan dan orang-orang yang berusaha menolong.

Dibantu Mas Dzikrullah dan Abdillah, seorang dokter berkaos IHH, wajahnya seperti orang India, menggunting semua bajuku. Dia ingin memastikan letak luka sumber rasa sakitku. Lalu seorang dokter Malaysia berusaha memasang jarum infus di lenganku. Berkali-kali ditusuknya tanganku.

Akhirnya sesudah infus terpasang, saya digotong dan ditempatkan di salah satu kursi ruang makan yang jadi hall tempat tidur ratusan relawan laki-laki. Oksigen terpasang. Rasanya agak mendingan. Nafasku masih sesak, tapi rasa sakit di perut kanan sudah banyak berkurang. Mungkin ada yang menyuntikkan pain killer. Dr Arief dari MER-C sempat memeriksa luka dan menenangkan saya.

Saat itu saya lihat orang hilir mudik menolong para korban. Tadinya saya tidak tahu, tapi setelah mendengar ada yang membacakan surat Yasin, baru saya sadar, ada sesosok jenazah terbujur di lantai dekat ujung kaki saya. Sesekali orang mengerumuni dan mendoakannya.

Saya sendiri waktu itu tidak membayangkan kalau beberapa saat setelahnya akan dibawa tentara Israel. Bayangan saya, “Ah… kayaknya sudah nggak bakal sampai ke Gaza nih. Pulang ah… Main sama anak-anak dan nulis berita…” Sesudah itu, yang paling banyak terpikirkan bagaimana memilih angle tulisan, dan apa saja yang mau ditulis.

Terus terang saya sempat bingung mau nulis apa setiap hari, sejak di Istanbul. Karena saya menyiapkan diri untuk menulis features di majalah, dan tidak terlalu siap menulis hard news. Alhamdulillah, kami bertiga, saya, Mas Dzikru dan Mbak Santi, jadi bisa bergantian mengirim berita pendek setiap hari.

Tak lama kemudian, pasien cedera di hall tempat saya berbaring sudah pergi semua. Karena itu saya digotong lagi oleh teman-teman Indonesia, dipindahkan ke hall yang masih banyak orang cederanya. Mereka yang sehat sebagian besar sudah disuruh keluar oleh tentara Israel lewat pintu belakang . Saya tak tahu mereka kemana, sebab rasanya kapal itu masih berlayar tapi tujuan akhirnya masih jauh.

Sesudah semua penumpang yang sehat habis, Hanin Zo’bi, anggota parlemen Israel orang Arab-Palestina di dekat saya minta kepada tentara agar tidak semua diangkut helikopter karena banyak yang terlalu parah. Saya sendiri berusaha untuk tidak pingsan. Alhamdulillah. Saya nggak sadar ada Okvi atau tidak di samping saya.

Tahu-tahu seorang tentara Israel menyuruh saya berdiri dan berjalan. Setelah melihat-lihat keadaan saya sebentar, tentara Israel berkulit bule dan berpenutup muka itu bilang, “Yes, you can walk. Stand up and walk up stairs… I will help you to stand.” Saya pikir, gile juga nih orang, gue baru ditembak disuruh jalan. Sesudah saya berdiri saya dibiarkan jalan sendiri, terhuyung-huyung. Dia membantu memegangi infus di belakang saya.

Nafas memang sudah mulai teratur, tapi badan rasanya lemas sekali. Alhamdulillah tidak terasa sakit. Saya sama sekali tidak membayangkan, apa yang belakangan ditemukan dokter dan tertulis di status medis saya, bahwa peluru menghantam dada kanan atas saya, masuk menyerempet paru-paru, mematahkan rusuk kanan terakhir, merobek diafragma, menyerempet liver sedikit, dan kemudian peluru itu berhenti sebelum menyentuh tulang panggul.

Berjalan kaki dari kursi makan tempat saya berbaring menuju dek 6 di atap kapal rasanya kelabu. Saya benar-benar sendirian. Semua ruangan kapal yang saya lewati sudah kosong melompong dari para relawan. Tentara Israel lalu lalang.

Dari dek 3 saya keluar ke teras sebelah kanan, lalu saya berjalan lewat tangga besi berpagar, muncul di teras dek 4 dekat ruang wartawan, lalu naik lagi tangga besi ke dek 5 dekat anjungan kapten. Sepanjang jalan kulihat suasana sangat berantakan tapi tanpa manusia. Nampak bekas-bekas perkelahian, alat-alat elektronik, matras, besi-besi bekas pagar kapal, darah berceceran di mana-mana.

Yang paling parah, tangga vertikal dari dek 5 ke dek 6, penuh dengan lumuran darah. Saya dipaksa naik lewat tangga yang tegak itu. Rasanya berat sekali.

Sempat celana saya kedodoran, lalu diperbaiki oleh tentara yang mengawal. Celana saya memang sudah terbuka sejak pertama kali disuruh berdiri oleh tentara Israel di dek 3.

Sesampainya di atap alias dek 6, saya lihat ada sekitar 10 orang yang luka parah seperti saya. Nampaknya kebanyakan orang Turki. Angin kencang yang berasal dari helikopter seperti hendak menerbangkan saya, sampai kupegang botol infus sendiri, takut diterbangkan juga, karena selang infus sudah mengibas-ibas hebat.

Begitu giliran saya tiba untuk diangkut ke atas helikopter, saya diikat ditandu, lalu dikerek ke atas ditandem dengan seorang paramedik AL Israel. Sesampainya di dalam helikopter, yang menyambut saya seorang dokter bule Israel berkaca mata. Dia memeriksa luka, bahkan membelah sedikit bagian yang tertembak, seperti mencari peluru. Sakitnya luar biasa. Tapi mereka tidak menemukan peluru lalu ditutup lagi.

Saya lihat ada seorang pasien lain di helikopter. Seorang Turki bertubuh agak gemuk. Saya lihat indikator jantungnya sudah tidak memberikan sinyal naik turun. Hanya ada garis lurus. Sempat terpikir, “Nih orang masih hidup nggak ya?”

Kemudian dua orang tim medis, mungkin dokter, satu yang tadi berkaca mata, satu lagi botak, dua-duanya bule, memutuskan untuk menyuntik sesuatu dan menyayat saya di iga sebelah kanan. Sepertinya mereka menemukan perdarahan di dalam dan hendak mengeluarkan. Terasa ada darah menyembur dari sayatan itu, lalu mereka memasang selang yang belakangan baru aku tahu, gunanya untuk mengeluarkan darah. Belakangan saya diberi tahu darah yang keluar 1000 cc.

Kedua paramedik bule itu sepertinya sangat gembira setelah berhasil memasang selang itu. Karena saya lihat mereka bersalaman sesudah merampungkan pekerjaannya. Paramedik yang botak sering mengacungkan jempol dan berkata “OK” kepada saya sambil tersenyum.

Dalam waktu sekitar 20 menit helikopter mendarat di sebuah helipad di sebuah dataran terbuka. Hampir tidak ada bangunan di sekitarnya. Helikopter atau pesawat lain juga tidak terlihat. Saya kemudian diangkut dengan ambulan. Di ambulan saya bertanya nama tempat itu kepada paramedik Botak tadi. Dia menjawab, “Haifa…”

Sesudah 10 menit, sampailah kami di sebuah rumah sakit dan di situ saya bertemu dengan beberapa pasien lain yang kebanyakan relawan Turki. Seluruh pakaian saya dibuka, diganti pakaian pasien berwarna putih. Seorang perawat perempuan menanyakan nama. Saya hanya menunjukkan kantong celana tempat paspor saya. Diambilnya lalu dia menuliskan identitas saya. Sejak itu nama saya disebut dengan cara berganti-ganti, “Suuuriya… Suraya… Suryaaa…” Kebanyakan sejak hari itu memanggil “Suraya”, mungkin gara-gara penulis pertama menulis dalam bahasa Ibrani dengan ejaan seperti itu.

Sesudah itu saya diperiksa secara maraton, dipindahkan dari satu meja periksa ke meja periksa lainnya. Saya ditanya apakah bisa berbahasa Inggris. Saya diberitahu seseorang berseragam rumah sakit warna biru muda, “Anda tidak perlu bergerak sama sekali, kami yang akan memindahkan Anda.” Mereka bekerja cepat dan cekatan. Kesan saya para dokter dan perawat Israel itu orang-orang yang selalu ingin bekerja cepat, tidak pernah diam atau santai, selalu bergerak dan melakukan sesuatu. Kayak orang kebelet kencing.

Saya dibawa dan diperiksa dari meja ke meja hampir tidak ada jeda. Begitu selesai CT-Scan saya sudah langsung mau dioperasi. Saya sempat disodori dua lembar dokumen yang harus ditandatangani dua-duanya, dan diberitahu akan dioperasi. Saya sempat bertanya, “Apakah [operasi] ini benar-benar perlu?”

“Ya perlu sekali. Supaya kita tahu luka apa saja yang ada di dalam tubuh Anda,” jawab seseorang berseragam medis.

Sesudah tanda tangan, saya langsung dibawa ke kamar operasi, dan diberitahu bahwa akan dianastesi alias dibius total. Ruang operasi itu terasa dingin sekali. Tapi beberapa detik kemudian saya sudah tak ingat apa-apa…………

* * *

Saat pertama kali sadar, saya terbangun di sebuah kamar bersama empat pasien lain. Seorang diantaranya relawan Turki, yang lain saya tak kenal, mungkin pasien Israel. Di sekeliling saya sudah ada empat atau lima orang dokter dan perawat. Seseorang maju mendekat sambil berkata, “Let me check it.”

Lalu dia membuka ikatan baju pasien di belakang, untuk melihat dada saya. Saya kaget setengah mati melihat dada saya, “Wah, bener-bener dibongkar nih gue…” Sebuah bekas sayatan membujur dari bawah ulu hati terus sampai sekitar 6 jari di bawah pusar, sudah dalam keadaan terjahit rapi dengan logam semacam staples. Tidak ada bekas darah sedikit pun. Lubang bekas jalan masuk peluru juga dijahit dengan staples, ada jahitan lain di dekatnya, tapi saya tak tahu itu luka apa. Alhamdulillah, saya hanya sangat bersyukur proses operasi itu semua saya lalui dalam keadaan sama sekali tidak sadar.

Baru mulai saat itulah saya merasakan atmosfir Yahudi di sekitar saya karena orang-orang saling menyapa dan berbicara dengan bahasa Ibrani. Saya lihat pemandangan di luar jendela indah. Tanahnya berbukit-bukit dan hijau. Ruangan kamar kami berpendingin.

Alhamdulillah, saya sama sekali tidak merasa khawatir, yang ada rasa bosan. Komunikasi saya dengan relawan Turki di kamar saya hanya senyum dan berpegangan tangan. Kami tak saling mengerti bahasa satu sama lain.

Seorang petugas berseragam biru muda, kadang-kadang mengenakan kaos polo, selalu ada di dalam kamar bergantian dengan temannya. Tadinya saya kira dia polisi, ternyata petugas imigrasi. Sejak hari Senin malam sampai Kamis siang saya tidak melakukan apapun kecuali berbaring dan menunggu waktu solat. Saya berpikir mudah-mudahan apa yang sudah kami lakukan tidak sia-sia. Sempat juga terpikir kapan bisa berkumpul keluarga.

Hari Rabu siang, seorang lelaki bule Yahudi yang ramah mengaku bernama Steve, menemui saya di kamar. Dia didampingi dua orang berseragam putih bergaris-garis biru dari Magen David Adom (Bintang David Merah, palang merahnya Israel). Di punggungnya ada bintang David merah. Steve yang gemuk dan mengenakan kaos polo merah itu bilang, “Beberapa hari yang lalu saya baru tiba dari Jakarta. Seminggu saya di Jakarta. Saya sudah kontak dengan departemen kesehatan Indonesia, dr Rustam. Begitu sehat, kami akan mengurus kepulangan Anda.”

Kunjungan singkat Steve dan kawan-kawan hanya sekitar 10 menit. Saya sendiri saat itu masih suka tertidur tanpa sadar, mungkin pengaruh obat pain killer yang terus-menerus diberikan, mungkin juga karena nyaman bernafas dengan tabung oksigen.

Yang menggembirakan, hari Kamis, saya menerima telepon istimewa. Duta Besar Yordania untuk Israel menelepon saya diatur oleh seorang diplomat Yordania yang bisa berbahasa Indonesia. Rasanya senang sekali, karena mulai ada titik terang.

Tapi rupanya ada kejutan menyenangkan berikutnya, dengan fasilitas teleconference, para diplomat Yordania menghubungkan saya dengan Duta Besar Indonesia di Amman, Yordania, Pak Zainulbahar Noor. Setelah menanyakan keadaan saya, beliau menawarkan kalau saya mau bicara dengan salah satu teman. “Di Yordania sini banyak teman Anda…” kata beliau.

Saya sama sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksud “teman-teman” itu adalah teman-teman relawan dan wartawan Indonesia. Karena dalam bayangan saya, teman-teman relawan dan wartawan Indonesia yang ada di Mavi Marmara masih ditahan di penjara Israel. Jadi saya bilang, “Terserah lah Pak…” Jadi kaget dan senang sekali begitu yang bicara Mas Dzikrullah meskipun cuma sebentar. Alhamdulillah.

Menjelang malam, petugas imigrasi yang menjaga kamar saya memberitahu ada seorang pengacara mau berjumpa saya. Namanya Suhad Bisyara, pengacara wanita pembela hak-hak minoritas Arab dari LSM bernama ‘Adalah. Dia memberikan kartu namanya, semacam lembaga bantuan hukum. Dia menawarkan bantuan apa saja yang diperlukan. Saya bilang, kalau boleh saya perlu pakaian. Malamnya dia datang lagi memberikan dua kaos satu celana dan pakaian dalam.

Relawan Turki yang sekamar dengan saya sudah dijemput pulang. Hari Jumat pengacara Arab itu datang lagi. Dia menanyakan apakah bajunya cocok atau tidak, dan kapan kira-kira ada yang menjemput saya. Saya bilang ada kabar saya akan dibantu kedutaan Yordania.

Saya bertanya kepada petugas imigrasi yang menjaga saya, “Mungkin nggak besok saya dievakuasi ke Yordania?”
“Nggak mungkin, besok hari Sabbath, nggak ada yang kerja,” katanya.

Sesudah itu obrolan mengalir, tapi searah. Dia mulai ngomong sendiri, katanya kami (Israel) sudah memperingatkan kapal Mavi Marvara. Menurut dia Gaza itu zona militer. Tidak ada yang boleh masuk. Monolog itu terus mengalir, “Dunia menuduh kami membunuh anak-anak, padahal kami mengincar teroris. Hanya saja para teroris itu pengecut, bersembunyi di balik perempuan dan anak-anak. Jadi kalau kamu bilang kapal itu (Mavi Marmara) kapal perdamaian, think again…”

Rupanya mesin yang berusaha mengeluarkan saya dari rumah sakit Israel bergerak cukup cepat. Hari Sabtu, kembali atas bantuan duta besar Yordania untuk Israel, saya disambungkan dengan Pak Zainulbahar, Dubes Indonesia di Amman, yang menanyakan keadaan saya dan kesiapan saya dievakuasi dengan ambulan. Rupanya Pak Dubes sudah bicara dengan dr Hani Bakush yang mengoperasi saya, dan dinyatakan saya siap dievakuasi kapan saja.

Hari Ahad saya sudah diluncurkan dengan ambulan dari RS Rambam Medical Center, Haifa, berangkat jam 9.05 pagi dan tiba di check-point perbatasan Yordania-Palestina terjajah King Hussein Bridge jam 12 siang, di sela-selanya sempat bertukar ambulan di tapal batas dari ambulan Israel ke ambulan Yordania.

Di King Hussein Bridge perasaan saya berbunga-bunga. Nggak nyangka begitu banyak yang menjemput terutama wartawan-wartawan dari Indonesia termasuk Mas Dzikru. Ternyata teman-teman relawan juga ada, Mbak Santi, Ust Ferry Nur, Muhendri, Dito, dr Arief. Rasanya lega bisa berkumpul bersama mereka lagi. Alhamdulillah.
**(Sahabatalaqsha.com & Hidayatullah.com)

Tuesday, February 16, 2010

Ketika ada tantangan, kreatiflah!

Oleh: Agung Pribadi (Komunitas Bisa - Fesbuk)

Sejak revolusi Iran tahun 1979, Iran adalah satu-satunya Negara di dunia yang berani memproklamirkan diri sebagai Negara yang “Tidak memproduksi film bertema kekerasan dan seks”. Di Iran juga Badan Sensor Film nya sangat ketat.

Apakah Sineas Iran memprotes keberadaan Badan Sensor Film seperti di Indonesia? Tidak! Mereka tetap membuat film. Mereka menekankan untuk memperbagus acting dan penceritaan.

Hasilnya? Film-film Iran sering mendapat penghargaan dalam festival-festival film internasional bergengsi seperti Cannes di Perancis dan Berlin film festival di Jerman. Ketika mendapat kesulitan berupa sensor yang sangat ketat, para sineas Iran mengatasinya dengan kreativitas.

Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998 dan harga telur melambung 4 x lipat, Ade Rai sebagai atlet binaraga sangat kesulitan karena ia harus mengonsumsi putih telur dalam jumlah besar. Apakah ia menyerah? ATau minimal mengeluh? Tidak! Ia mengganti konsumsi telur dengan mengonsumsi tempe yang harganya jauh lebih murah.

Hasilnya? Ade Rai berhasil menjuarai Kejuaraan Binaraga Asia tahun 1998. ketika mendapat kesulitan Ade Rai tidak mengeluh. Ia mengatasinya dengan kreativitas.

Pada tahun 1998 ini juga harga pakan ternak yang mayoritas barang impor melambung 4 x lipat. Pengusaha peternakan yang bagaimana yang bisa bertahan? Pengusaha yang dengan kreativitasnya membuat pakan ternak sendiri berbahan kulit telur, cangkang udang, cangkang kepiting, duri ikan, duri cumi, dan tulang ayam.

Jadi ketika menghadapi tantangan atau ditimpa kesulitan kreatiflah!
Itulah kunci kesuksesan.

Gua nggak butuh sholat! Buat apa sih Sholat?

Mohon maaf bila judulnya bikin emosi. insyaAllah isinya gak separah judulnya, itu cuman bikin penasaran aja. Saya cuman pengen berbagi, saya dapet email dari temen di sebuah milis. email itu isinya cerita begini:

Anak : Pa, solat itu buat apa sih?

Ortu : (menghardik) Udah, lu jangan tanya-tanya macem-macem.. kapir lu nanti!

Anak : (terdiam)

Belasan tahun kemudian, si anak bertemu lagi dengan saya. Mana saya tahu kalau dia dulu tunya-tanya kayak gitu kan ? Biar gampang, kita sebut aja dia Boni.

Saya : Woy, jumatan atuh.. orang-orang udah pada ngabur!

Boni : Hoream ah…. keur naon solat? (males ah, buat apa sholat?)

Saya : (untung ajah, dulu kenyang di plonco adik PAS) Dasar.. Ari kamu sholat buat apa?

Boni : Saya mah, sholat kalo butuh dong. Nggak solat kalo aku nggak merasa butuh. Solat itu harus merupakan kebutuhan, bukan kewajiban dong. Tuhan nggak butuh solat kita, yang butuh itu kita! Sekarang gua lagi nggak butuh solat, jadi buat apa gua solat. PEUN.

Saya : Itu betul, memang kita harus punya sense ‘butuh’ terhadap sholat. Tapi, menurut gua, kita tetep ‘wajib’ sholat, meskipun kita sedang tidak ‘butuh’.

Boni : Buat apa? Menurut gua, disitulah letak nggak gunanya solat.
Lebih cuih lagi, kalo orang solat buat ngejar ‘gelar’, gua paling nggak suka!

Saya : Maksud loe?

Boni : Ya itu, jenis-jenis manusia yang solatnya buat pamer, kalo dia itu paling soleh!! Menurut gua sih, kalo die solat seribu rokaat juge, kalo abis solat die korup, die membunuh, die menjelekkan orang, menggunjing, tetep aje die tu, lebih buruk, dibanding orang nyang gak solat tapi berbuat baik sama orang lain!

Saya : Lu bener di satu sisi..Orang yang menzalimi orang lain, meski solat, tetep lebih buruk dibanding yang gak solat tapi berbuat baik

Boni : Tuu, bener kan gue!

Saya : Tapi di sisi lain, lu juga salah Bon! Menurut saya nih, solat tetep wajib!

Boni : Salah gimane? Ah paling lu mau ngeluarin ayat.

Saya : Ok, kita pake akal aja. Nah, sekarang saya mau nanya neh. Gaji lu berapa Bon?

Boni : Rahasia dong.. yah oke deh, sekitar 3-an lah

Saya : Lu kerja berapa jam sehari tuh, buat 3-an itu? 8 jam sehari ada nggak?

Boni : Ya iya lah.. lebih kali

Saya : Selain itu, saya yakin kalo lu dapet segitu, karena skill dan gelar lu kan ? Gak cuma karena kerjaan lu. Yang jelas, pengorbanan lu untuk dapet gaji segitu, lebih banyak dari sekedar kerja 8 jam sehari. Bener gak?

Boni : Bener banget! Tapi segitu juga udah untung. Gua suka dapet bonus, jadi gua yah, berterimakasih banget dah, sama Boss gua. Dia care banget sih sama kita.

Saya : Nah, Bon, ngomong-ngomong lu pernah denger ada jual beli ginjal gak buat transplantasi?

Boni : Oh iya dong, gile, satu ginjal ada satu milyar kali! Gua sih nggak bakal jual. Gila aja kali! Ntar gua pake apa dong?

Saya : Nah lu dikasih semilyar, kok gak mau berterimakasih sama sekali?

Boni : Bentar-bentar gua nggak ngerti neh.. dikasih semilyar gimana?

Saya : Tuh, mata loe… harganya berapa? Ok, ginjal satu milyar kan ? Oh ya, belon ntu tuh, kuping, mulut, muka… hm, loba euy (banyak euy), semua jatuhnya berapa ya? Trilyunan tuh.
Tapi semuanya dikasih gratis…

Boni : ……..

Saya : Bon, Sekali lagi neh, menurut aku, sholat tetep wajib, karna, itu salah satu cara kita untuk berterimakasih sama Yang ngasih badan kita, rejeki kita, keberuntungan kita, yah, segalanya yang udah Dia kasih dah.

Kita rela bekerja 8 jam sehari untuk mendapatkan 3 juta rupiah. Kita sangat berterimakasih sama orang yang ngasih kita tambahan bonus sekedar seratus-duaratus ribu, tapi kita kadang lupa berterimakasih sama ’seseorang’ yang ngasih kita mata, mulut, tangan, kaki, ginjal, yang harganya jauh lebih mahal kalo kita jual. Well, bahkan bisa dibilang tak ternilai harganya. CUma orang kepepet berat atau orang bodoh yang mau jual badan dia sendiri.

Memang idealnya, orang solat tuh terhindar dari perbuatan buruk. Toh solat kan aslinya mencegah perbuatan buruk, dan membuat kita terbiasa melakukan perbuatan baik. Tapi itu kalau dia menghayati makna sholat sebagai sarana mengingat Tuhan, bukan sekedar menggugurkan kewajiban (seperti saya hehehe).

Di situasi ideal ini, selepas sholat, orang jadi mengingat kembali, betapa banyak yang Tuhan berikan dan lakukan demi kebaikan kita. Coba aja telaah arti bacaan shalat dan arti gerakan solat. So pasti lu temukan deh, banyak bacaan solat maknanya kearah ini.

Karena dia ngeh bahwa Tuhan selalu melihat, dan telah banyak berbuat buat dia, dia bakal berfikir 1000 kali buat berbuat hal yang nggak Tuhan sukai.

yah kalo solatnya sekedar nyari gelar seperti yg lu bilang sih, memang gak bakal ada manfaatnya.

Tapi lu cerdas Bon, lu juga SQ-nya tinggi, makanya lu nggak mau solat sekedar menggugurkan kewajiban. Karena itu, lu pasti ngerti bahwa solat tetep wajib, meski kita lagi nggak butuh solat. Kita wajib solat, untuk berterimakasih sama yang telah ngasih kita segalanya.

Boni : Seandainya dulu bapa gua ngejawab kayak gitu, gua mungkin gak bakal terlalu anti solat ya…

Saya :? ???

Boni : Sudahlah, gak usah dibahas… Tapi thanks ya.. gua jadi ngerti neh.

================================================== =======

yah, alhamdulilah, berkat dialog yang kacrut ini (aslinya jauh lebih ngalor ngidul dan panjang), Boni sekarang rajin shalat, dan berusaha menghayati solatnya. Semoga aku jg ketularan Boni ya

teman-teman… jangan pernah berhenti mencari jawaban tentang sesuatu yang kita nggak ngerti tentang Tuhan atau agama. Banyak orang kecewa terhadap agama (apapun), kemudian jadi atheis, atau punya sekte sendiri, cuma karena pertanyaan dia tidak terjawab.

Bertanyalah pada ulama, bila belum puas, cari ulama lain, bila nggak puas juga, layangkan email ke ulama di luar negeri. Atau berdiskusilah dengan banyak teman-teman. Jangan puas dengan hanya satu jawaban. Jadilah pencari Tuhan yang sebenar-benarnya.

Bukan pencari Kebenaran Hakiki namanya, kalo cuma ngaku-ngaku aja. jangan ngaku pencari kebenaran, kalo tak pernah mencari.

buat para ortu, jangan sampai menghardik anak bila nggak ngerti ngejawab pertanyaan. Mendingan bilang terus terang aja, kalo bapa nggak bisa, ntar kita cari sama-sama. thats it

YOURE a father NOT a superhero.

yah, semoga bermanfaat dan bisa kita ambil hikmah dari cerita ini

penulis M. Febriansyah Z


sumber
h*ttp://www.rozy.web.id/bengkel-hati/gua-nggak-butuh-sholat-buat-apa-sih-sholat/

Sunday, February 14, 2010

Century: Rekening Fiktif?

Membaca koran kemarin, saya benar-benar heran dengan temuan Pansus. Rekening fiktif di Bank Century bertebaran? How come? Kenapa bisa rekening dibuat sedemikian rupa dan bisa menarik dana yang jumlahnya gila-gilaan?

Dari sini saja kita bisa menyimpulkan kalau manajemen Bank Cantury memang benar-benar kacau dalam menjalankan Bank tersebut. Ngemplang, money laundring, belum lagi memindah dana nasabah dari deposito ke reksadana seenak jidatnya.

Kalau yang seperti itu masih dapat pengampunan dari pengadilan, yang lain bisa ikut-ikut juga.

Ternyata ada juga ya, orang-orang beritikad buruk memegang kendali lembaga keuangan (diteriakin: banyak kaleee). Yah, resiko negara dengan kepastian hukum yang diragukan...