Tuesday, May 30, 2006

Kamu Memang Ratuku

Kami memiliki seorang tetangga wanita, wanita tua renta yang telah berusia 70 tahun lebih. Dia menarik perhatian kami dan kami amat iba melihatnya. Bagaimana tidak, setiap hari kami melihat dia keluar masuk rumah melakukan aktifitas demi kebutuhannya, tanpa seorang pun sanak saudara dan kerabat yang membantunya. Dia memenuhi kebutuhannya sendiri dari mulai makanan sampai pakaian. Dia tinggal sendirian dan tak seorangpun datang bertandang ke rumahnya.

Suatu hari aku mengunjunginya untuk menunaikan satu kewajiban Islam atas kami terhadap para tetangga. Dia kelihatan amat terkejut melihat kedatangan kami. Selama ini ia hidup di tengah-tengah etnis masyarakat yang tiada amal kebaikan di dalamnya dan tidak mengenal belas kasihan. Hubungan antar tetangga tidak terjalin dengan baik dan harmonis. Mereka teramat acuh antara satu dengan lainnya.

Hari berikutnya ia mengadakan kunjungan balik ke kediaman kami. Dia membawa sebungkus manisan untuk anak-anak. Di samping itu, dia juga membawa sebuah kartu yang biasa mereka persembahkan untuk berbgai momen. Pada kartu itu ia menuliskan ucapan terima kasih dan penghargaan dengan apa yang telah kami berikan kepadanya.

Aku menawarkan padanya untuk kerap mengunjungi istriku. Dan memang, sejak saat itu dia mulai mengerti bahwa lelaki di negara kami bertanggung jawab terhadap urusan rumah dan keluarganya. Lelaki bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Dia kemudian juga mengerti, bagaimana kedudukan seorang wanita dalam agama Islam, serta penghormatan kaum muslimin terhadap anak, istri ataupun ibu, khususnya wanita yang telah lanjut usia, dimana anak-anak anak-anak dan cucunya akan berlomba-lomba dan saling berkompetisi untuk menghormati dan melayaninya. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan orang tuanya, maka iaakan dikucilkan dari khalayak umum.

Wanita tua ini lantas mempelajari secara langsung bagaimana sebenarnya hubungan antar keluarga dalam agama Islam. Bagaimana seorang ayah bermuamalah dengan anaknya, bagaimana anak-anak itu mengerumuninya sewaktu dia masuk rumah, dan bagaimana seorang istri mati-matian melayani suami dan keluarganya.

Wanita itu lantas membandingkan dengan apa yang telah dijalaninya dengan apa yang kami jalani. Dengan sedih ia menuturkan, bahwa sebenarnya dia memiliki beberapa orang anak dan cucu. Tapi kini dia sendiri taidak mengetahui dimana mereka berada. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengunjunginya atau hanya sekedar menengok unutk mengetahui kabarnya. Mereka tidak pernah peduli apakah dirinya masih hidup ataukan telah mati terbakar. Karena pada dasarnua mereka menganggap hal itu tidak penting. Sungguh tragis realita itu, bagaimana mungkin satu ikatan keluarga tercerai-berai tanpa saling mengetahui kondisi masing-masing diantara mereka. Ironis dan tak masuk akal!

Kemudian dia bercerita, bahwa rumah yang ditempati kini merupakan hasil jerih payahnya sendiri sepanjang hidupnya. Dia juga menuturkan bagaimana wanita-wanita barat berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kemudian dia mengakhiri ucapannya, ”Sesungguhnya wanita di negara kalian adalah ratu. Kalau bukan karena sudah sangat terlambat, pastilah aku akan menikah dengan lelaki seperti suamimu dan hidup seperti kalian.”

Subhanallah... kenyataan ini menggambarkan, betapa mulianya agama Islam itu dan betapa Islam sangat menghargai dan menghormati kaum wanita, sehingga kaum muslimah harus menyadari bahwa emansipasi itu sudah tak perlu diributkan lagi karena Islam itu sudah sempurnya dalam memenuhi hak-hak seorang wanita.

Tetapi ada hal yang lebih tragis, dimana wanita-wanita muslimah lebih menggandrungi koran-koran, majalah-majalah, bahkan menggemari pakaian dan gaya hidup wanita barat. Sedang wanita barat sendiri banyak yang iri dan ingin menjalani kehidupan dan dihormati seperti wanita-wanita muslimah.

Ya Allah, hanya bagi-Mu segala puji dan syukur. Dan kami berdoa agar kami senantiasa berada dalam nikmatnya Islam.

(Ummu Salsabila, dari ”Berbagai Kesaksianku di Inggris” oleh Dr Abdullah Al-Khatir)
Dari majalah Elfata, edisi 5 volume 06 2006, hal.49-51

2 comments:

Anonymous said...

:) Ratuku = gak beli he he he
alias gak modal donk

Tika said...

He..he..he...